breaking news:
Attention!
Blog Archives
December 3, 2008
Print this Article
By: Baiq Wardhani
Tanggal 19-30 Juni tengah berlangsung Sidang Dewan Hak Azasi Manusia (HAM) di Geneva, ibukota Swiss. Dewan HAM ini merupakan sebuah lembaga baru di bawah naungan PBB, yang untuk tahun ini Indonesia merupakan salah satu anggota terpilih oleh Majelis Umum PBB. Dewan yang beranggotakan 47 negara tersebut menggantikan Komisi HAM PBB yang beranggotakan 53 negara PBB, yang terpaksa dibubarkan karena politisasi lembaga tersebut oleh para anggotanya.
Dalam sidang peresmian Dewan HAM, Sekjen PBB Kofi Annan menyatakan bahwa Dewan tersebut sedang mendapat perhatian dari seluruh dunia, terutama dari kalangan yang pernah “dirampas, diancam atau dilanggar HAM-nya”. Pernyataan Sekjen PBB tersebut mengingatkan pentingnya negara-negara anggota Dewan baru tersebut untuk lebih memfokuskan agendanya pada perjuangan global dalam bidang HAM daripada mengedepankan agenda nasional masing-masing negara yang sering kali berbenturan dengan norma HAM universal, seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
Sehubungan dengan keanggotaan Indonesia dalam Dewan HAM internasional tersebut, tulisan ini ingin melihat bagaimanakah rapor HAM kita, dan bagaimana posisi Indonesia dalam memperjuangkan agenda global HAM.
HAM Indonesia
Sangat menarik bila diamati masuknya Indonesia dalam Dewan HAM PBB. Inilah pertama kali Indonesia diberi peranan berarti dalam forum internasional pasca krisis 1998. Apakah kepercayaan PBB itu merupakan pertanda meningkatnya kepercayaan dunia internasional pada Indonesia? Apakah terdapat agenda tersembunyi di balik terpilihnya Indonesia? Jawabanya bisa beragam. Yang pasti, kesempatan ini merupakan tantangan sekaligus harapan bagi Indonesia untuk lebih mawas diri dalam meninjau kembali masalah HAM-nya.
Kondisi HAM di Indonesia, terutama kekerasan sistematis rejim atas rakyat, merupakan masalah yang sering disoroti berbagai kelompok pengamat HAM baik di dalam maupun luar negeri. Menurut pengamatan Amnesty Internasional, misalnya, Indonesia dikategorikan sebagai negara yang mempunyai catatan HAM sangat memprihatinkan. Pelanggaran HAM dan ketidakadilan terjadi di berbagai penjuru tanah air, terutama daerah-daerah konflik. Dengan alat pemaksa yang dimilikinya, rejim Orde Baru melakukan tindakan penyimpangan HAM dengan dalih “menjaga stabiliitas”, yang menyebabkan lahirnya “barisan sakit hati” di beberapa kelompok orang di wilayah-wilayah konflik seperti Aceh dan Papua. Contohnya, selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, tercatat berbagai kekerasan rejim terhadap rakyat seperti penyiksaan fisik maupun psikis, penculikan, penyidangan tanpa proses hukum yang benar, dsb. Belum lagi dampak yang diakibatkan oleh konflik seperti kelaparan, tidak adanya rasa aman, tidak terurusnya pendidikan, minimnya sarana kesehatan dan lain-lain, yang semua itu menyumbang pada minusnya nilai rapor HAM kita.
Dilema Diplomasi
Bagi Indonesia tentu saja keanggotaannya dalam Dewan ini merupakan suatu kehormatan. Betapa tidak, dengan rekor HAM yang memprihatinkan, Indoneaia berhasil menduduki posisi terhormat itu. Hal ini bisa dilihat sebagai kemenangan diplomasi Indonesia. Namun sebagai konsekuensinya, tugas yang harus ditanggung Indonesia tentu luar biasa berat.
Secara simbolis posisi Indoensia sangat krusial. Bagi Indonesia, keanggotaan tersebut merupakan kesempatan untuk menegakkan rejim HAM internasional terhadap 191 anggota PBB sekaligus memperbaiki status HAM domestiknya. Indonesia sudah selayaknya memanfaatkan momentum kemenangan diplomatik ini dengan melakukan berbagai pembenahan di berbagai bidang yang bersangkut paut dengan HAM.
Namun sejujurnya harus diakui pula bahwa posisi Indonesia sangatlah dilematis dalam keanggotaan Dewan HAM PBB tersebut. Setidaknya Indonesia menghadapi dua masalah besar. Pertama, di satu pihak, secara idealis Indonesia harus mampu mewujudkan cita-cita luhur Dewan tersebut, untuk tidak hanya sekedar menjadi “international human rights watchdog” yang bergengsi, tetapi juga harus mampu merumuskan aturan main yang harus ditaati oleh semua anggota PBB. Di pihak lain, Indonesia sendiri masih menghadapi berbagai persoalan HAM di dalam negeri yang belum teratasi, di antaranya tingkat kelaparan, buta huruf, kesehatan, pendidikan dan peradilan yang buruk, serta kekerasan sistematis dalam bentuk yang lain yang dilakukan oleh Negara.
Jika di masa lalu Indonesia sering berdalih demi menjaga stabilitas, melindungi kepentingan nasional dan tidak mencampuri urursan dalam negeri negara lain untuk setiap kritik domestik maupun asing tentang pelanggran HAM yang dilakukan rejim, maka kini akibat demokratisasi internasional, pernyataan tersebut tidak lagi laku dijual karena masalah HAM bukanlah monopoli negara tertentu sekalipun pelanggaran tersebut terjadi dalam wilayah kedaulatan suatu negara.
Kedua, apakah Indonesia memiliki kapabilitas yang cukup untuk mampu secara netral dan tegas mengatasi polarisasi antara blok Utara (Negara-negara Barat) dengan blok Selatan (Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin) yang seringkali berbeda pendapat tentang isu-isu HAM. Ketergantungan Indonesia secara ekonomi pada kelompok Barat tentu menjadi pertimbangan yang dilematis bagi Indonesia untuk bisa mengambil peran dominan dalam Dewan HAM PBB tersebut.
Dihadapkan pada kondisi Indonesia yang demikian, sebenarnya posisi Indonesia menjadi problematik. Secara konsekuen Indonesia haruslah memenuhi sumpahnya dalam keanggotaan Dewan tersebut untuk “menghormati HAM di dalam negeri dan menjunjungnya di luar negeri”. Jangan sampai sumpah tersebut hanya sebatas retorika karena hal tersebut bisa menjadi blunder bagi kita sendiri.
0 Responses to Diplomasi HAM Indonesia:
:f :D :) ;;) :x :$ x( :?
:@ :~ :| :)) :( :s :(( :o
Post a Comment