breaking news:
Attention!
Blog Archives
December 3, 2008
Print this Article
By: Baiq Wardhani
Pendahuluan
Hampir dua dasawarsa
Selama menjadi anggota APEC,
Kondisi perekonomian
Harapan Indonesia dalam APEC
Komitmen multilateralisme
Pertama, regionalisasi ekonomi diharapkan memberi
Pada dasarnya
Walaupun terdapat kekurangan di beberapa hal, kebijakan ini membantu
Kedua, berkaitan dengan faktor pertama, adalah keinginan Indonesia untuk meraih image internasional yang positif terhadap kemajuan ekonominya. Globalisasi ekonomi memberi peluang Negara untuk memperlihatkan performance ekonominya. Dengan kata lain, kekuatan ekonomi suatu negara diukur dari seberapa banyak negara tersebut memberikan sumbangan terhadap perkembangan ekonomi kawasannya. (Muna 1997: 94) Negara-negara tetangga Indonesia seperti Singapura, Korea Selatan, Hong Kong dan Taiwan mendapat julukan sebagai NIEs (Newly Industrializing Economies). Sementara Malaysia dan Thailand tumbuh hampir menyamai NIEs. Secara umum oleh Bank Dunia pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Pasifik digambarkan sebagai “Keajaiban Asia Timur”. Dipicu oleh kesuksesan itulah pemerintah RI ingin mensejajarkan diri dalam predikat tersebut.
Dalam konteks ini pula Indonesia tidak ingin terjebak dalam keadaan yang diistilahkan sebagai “export pessimism” yang beranggapan bahwa ekspor dari negara berkembang tidak akan mampu menembus pasar negara maju. (Hughes 1992: 12) Pesimisme ekspor itu melanda banyak negara berkembang, dan ketidakpercayaan diri ini menyebabkan arus ekspor negara berkembang tidak banyak ditemui di negara maju. Tentu saja pesimisme ekspor bukanlah satu-satunya penyebab, karena banyak lagi faktor lain yang turut berperan. Namun setidaknya bergabungnya Indonesia dalam APEC adalah upaya menepis anggapan tersebut, apalagi ada kesempatan untuk itu.
Ketiga, Indonesia memiliki kepentingan politis-strategis untuk menjadi sekutu dekat AS. Bagi Indonesia, secara strategis keterlibatan AS dalam APEC merupakan simbol kedekatannya dengan AS. Bagi AS, keterlibatannya dalam APEC merupakan simbol yang memperkuat kesahihan kehadirannya di kawasan Asia-Pasifik. Terdapat kebutuhan timbal balik pada hubungan AS dengan anggota APEC lainnya. Komitmen Indonesia pada APEC nampak lebih kuat setelah Pertemuan Bogor 1994 yang kehadiran Presiden Clinton sangat diharapkan saat itu. APEC bukan saja menjadi ajang liberalisasi ekonomi tetapi juga menjadi tempat berkonsultasi masalah-masalah regional. (Petri 1999: 5)[2]
Kondisi nyata Indonesia
Seberapa siapkah Indonesia menghadapi pasar bebas? Apa sajakah yang telah dilakukan Indonesia dalam menyambutnya? Walaupun ditargetkan Indonesia memasuki pasar bebas itu pada 2020, saat ini saja sudah dirasakan banyaknya “penderitaan” kita. Pasar bebas dalam beberapa hal telah menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional, seperti makin lebarnya jurang si kaya dengan si miskin dan melemahnya kontrol pemerintah dalam perekonomian. Perekonomian nasional lebih banyak dikuasai pihak asing dengan dijualnya aset-aset penting negara yang menguasai hidup orang banyak.
Sejak bergabung dengan APEC, Indonesia berusaha melakukan beberapa persiapan, seperti (a) kemitraan usaha dan modal ventura yang merupakan kerjasama terpadu pengusaha besar dengan pengusaha kecil di tingkat nasional; (b) kemitraan melalui jalur kota kembar (sister city) dengan pihak luar negeri yang dimaksudkan untuk mengambil manfaat saling menguntungkan dari hubungan-hubungan sosial, budaya, perdagangan, pariwisata, dan alih teknologi[3]; (c) meningkatkan daya saing industri tekstil dan perkayuan. (Irewati 1997: 52)
Melakukan kemitraan antara pengusaha besar dengan kecil maupun antara negara maju dengan negara berkembang, bukanlah pekerjaan mudah. Di satu pihak, ada keinginan untuk bersama-sama menggairahkan perekonomian masing-masing pihak, namun di pihak lain ada beberapa hal yang tidak bisa begitu saja diberikan secara mudah/gratis kepada pihak lain. Di pihak yang kuat ada keengganan untuk mentransfer kelebihan kepada pihak yang lemah. Hal ini konsisten dengan sifat dasar ideologi liberalisme. Sebagai contoh, sebagai negara yang secara teknologi masih jauh tertinggal, Indonesia mengalami hambatan dalam bidang transfer teknologi dari negara maju, sehingga tujuan kemitraan dalam sister city tidak bisa terwujud secara nyata. Bidang pertekstilan yang menjadi salah satu andalan ekspor Indonesia, juga mengalami berbagai kendala. Tekstil dan pakaian jadi Indonesia tidak mampu bersaing dengan tekstil dari Cina yang mutunya tinggi dan semakin merambah dunia. (Samhadi, Kompas 20/5/2006: 34)
Dibandingkan dengan China dan India, sektor industri Indonesia masih tertinggal jauh dalam banyak hal. Data dari United Nations Conference on Trade and Development, China merupakan pemasok dunia terbesar ketiga untuk barang dan kesembilan terbesar untuk jasa komersial. Sementara India sudah mampu bersaing di teknonolgi informasi (IT) di tingkat internasional. Pendapatan India dari industri IT mencapai 36 miliar dollar AS pada tahun 2006. Sementara China, India dan sebagian negara APEC naik kelas dalam perindustrian, Indonesia bukan hanya tinggal kelas tetapi justru turun kelas. Nilai ekspor Indonesia di produk teknologi tinggi berada di tingkat terbawah (dengan pendapatan 4.850 juta dollar AS) dibandingkan dengan negara-negara APEC lainnya: China (107.543 juta dollar), Singapura (71.421 juta dollar AS) , Korea (57.161 juta dollar AS), Malaysia (47.042 juta dollar AS), Thailand (18.203 juta dollar AS). (Samhadi, Kompas 20/5/2006) Menurut Emil Salim, hal yang ironis bahwa China dan India yang dak memiliki sumber daya alam topis seperti Indonesia bisa menjadi “raja” ekonomi di Asia. (Salim, Tempo Interaktif, 17/12/2004: np)
Dari waktu ke waktu industri nasional mengalami kemunduran, bahkan dalam beberapa sektor mengalami kemandegan (stagnant) atau deindustrialisasi. (Astono, Kompas 20/5/2006: 35) Bagaimana mungkin Indonesia yang secara potensial memiliki hampir semua komponen produksi untuk mampu mengembangkan industrinya secara maksimal justru mengalami deindustrialisasi? Kondisi ini diperparah sejak krisis moneter 1997. Jangankan bersaing di sektor industri berteknologi tinggi, di industri manufaktur saja (pupuk, keramik, gas, tekstil, kayu dan sektor lain yang hanya mengandalkan sumber daya alam), kita tidak mampu menggarapnya. Indonesia yang dulu menjadi eksporter minyak, akibat kecerobohan manajemen sekarang menjadi importer minyak. Dengan kondisi demikian industri nasional semakin terpukul akibat kerawanan BBM. (Kompas 1/6/2006: 17)
Demikian pula di industri pertanian, Indonesia sebagai negara agraris justru menjadi importer kebutuhan dasar pangan seperti beras, kedelai, susu, garam, buah-buahan dan berbagai produk pertanian lain. (Hidayati, Kompas 20/5/2006: 38) Pemerintah lebih suka mengajak rakyat menjadi boros dengan seringnya membeli kebutuhan dasar (yang sebenarnya bisa kita penuhi sendiri) dari luar negeri untuk menutup kebutuhan dalam negeri. Pemerintah lebih memanjakan para pedagang daripada petani yang dirugikan oleh masuknya barang impor. (Maryoto, Kompas 20/5/2006: 39) Padahal jika pemerintah bijaksana dan taktis, Indonesia mampu mengembangkan teknologi pangan dan pertanian sendiri yang manfaat jangka panjangnya lebih positif tanpa harus menggantungkan diri pada pasokan luar negeri.
Jika ketergantungan ini terus berlangsung maka tidak mengherankan jika bangsa kita akan jadi konsumen saja di pasar bebas dengan membajirnya barang dan jasa asing di dalam negeri. Kita tidak akan mampu menjadi tuan rumah di negeri kita sendiri. Jangankan mampu bersaing di produk teknologi tinggi, untuk memenuhi kebutuhan dasar pun kita tidak mampu. Suatu hal yang ironis bahwa bergabungnya Indonesia dalam APEC sebagai mitra dan sarana mencapai kemakmuran justru menjadi pemangsa bagi kita sendiri. Jika hal ini berlangsung terus sampai 2020, maka Indonesia hanya mampu berhenti sebagai pasar raksasa dengan daya beli lemah karena tidak memiliki daya saing kuat di belantara pasar terbuka.
Ketika menjadi tuan rumah KTT APEC tahun 1994 di Bogor Indonesia mencanangkan tekadnya untuk mewujudkan liberalisasi itu pada tahun 2020, tanpa memperkirakan sejauh manakah kesiapan nasional kita. Indonesia berharap banyak pada liberalisasi ekonomi untuk meningkatkan taraf kesejahteraan nasional. Indonesia terseret dan menyerah pada para pendukung neo-liberal yang mengagung-agungkan pasar bebas, seolah-olah tidak ada alternatif lain, seperti yang pernah disuarakan oleh Margareth Thatcher dan Ronald Reagan (Gomez, ny: 2; Friedman 2005: np) yang kemudian disetujui oleh Mantan Presiden Suharto yang menyatakan bahwa siap atau tidak siap Indonesia hatus memasuki pasar bebas.
Kondisi ekonomi Indonesia yang centang perentang diperburuk oleh beberapa faktor, baik faktor kesalahan manusia maupun faktor yang bersifat natural. Indonesia belum sepenuhnya mampu bangkit dari krisis. Indonesia tidak saja diterpa krisis keuangan dan ekonomi namun juga krisis yang sering disebut-sebut sebagai “krisis multidimensi”, yang telah melemahkan sendi-sendi bernegara. Berbagai persoalan besar di tingkat nasional belum menemukan jalan keluarnya seperti konflik berbasis etnis, terorisme, otonomi daerah yang belum mantap, krisis BBM dan krisis energi, krisis kepemimpinan, belum dipatuhinya peraturan hukum, hutang luar negeri yang semakin membengkak, serta persoalan sejenisnya. Berbagai kesulitan ini ditambah pula dengan bebrapa bencana alam yang secara beruntun menimpa Indonesia, mulai tsunami, tanah longsor, gempa bumi, dan sebagainya. Semua persoalan itu menyerap dana dan enegi pemerintah dan rakyat sehingga Indonesia nampak semakin tidak berdaya menghadapi pasar bebas.
Sementara itu investor asing pun makin undur langkah melihat kondisi Indonesia yang demikian parah. Selain faktor yang telah disebutkan di atas, ketertinggalan Indonesia di bidang investasi dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya disebabkan oleh beberapa faktor penghambat klasik, antara lain tingkat korupsi yang tinggi, infrastruktur yang tidak memadai, birokrasi pemerintah yang berbelit-belit, peraturan perpajakan yang rumit, kualitas SDM yang rendah serta instabilitas kebijakan. (Astono, Kompas 20/5/2006: 35) Hadi Soesastro berargumen bahwa kebijakan Indonesia menghadapi globalisai (termasuk bergabung dalam APEC dan AFTA) lebih didasarkan pada “pertimbangan obyektif apa yang bisa dicapai negara-negara Asia Timur lainnya…dan [keinginan mereka] untuk berlomba meliberalisasi perekonomiannya agar lebih menarik investasi global”. Soesastro menambahkan, pemerintah tidak bijaksana dalam kebijakan ekonominya karena tidak mendorong tumbuhnya persaingan sehat di dalam negeri dengan memberi keistimewaan pada golongan tertentu. (Samhadi, Kompas 20/5/2006: 34) Padahal persaingan sehat di dalam negeri merupakan modal persaingan di pasar bebas.
Selain faktor-faktor internal Indonesia, hambatan menuju pasar bebas juga datang dari faktor eksternal. Dalam pasar bebas tentu masing-masing negara ingin melindungi industrinya agar tidak “dimangsa” oleh negara asing. Dengan berbagai aturan tarif dan non-tarif negara maju berupaya menghalangi masuknya produk dari negara berkembang. Hambatan-hambatan non-tarif seperti anti-dumping, ecolabelling, serta hambatan-hambatan yang dikaitkan dengan isu-isu non-perdagangan seperti kondisi HAM, merupakan senjata ampuh untuk menangkal masuknya produk negara berkembang.
Untuk menguasai pasar dunia, negara-negara di Eropa saja melindungi produksi pertaniannya sedemikian rupa. Amerika Serikat juga melakkan hal yang sama. AS telah mengalokasikan subsidi sampai 80 % untuk sektor pertaniannya. (Pikiran Rakyat 15/5/2006: np) Untuk menaklukkan pasar dunia, negara maju melakukan tiga langkah, yaitu mengambil pasar di negara lain, mengambil energi di negara yang kaya sumber daya alam, dan bagaimana menaruh posisi yang tepat untuk menyebarkan pengaruh politik, artinya menyebatkan hegemoni agar memperoleh akses politik besar di negara yang diincar. Akses politik besar berdampak pada akses untuk menguasai pasar negara berkembang.
Harapan Tinggal Harapan?
Tiga langkah yang disebutkan di atas sudah dilakukan oleh negara maju di Indonesia. Dengan demikian, harapan akan terjadinya kemitraan melalui APEC semakin tidak menentu.
Sejak dilanda krisis keuangan yang diikuti dengan krisis multidimensi, harapan Indonesia pada APEC mulai menurun. Kegairahan yang ditunjukkan pada awal tahun 1990-an ketika APEC baru dibentuk, tidak nampak lagi. Setidaknya terdapat dua hal yang menyebabkan surutnya antusiasme Indonesia pada APEC:
Pertama, selama krisis ekonomi Asia, APEC tidak banyak berperan dalam membantu memperbaiki atau memulihkan kondisi terpuruk Indonesia. Bahkan Singapura yang merupakan anggota APEC, negara tetangga terdekat Indonesia sekaligus terkaya, justru memanfaatkan kesulitan ekonomi Indonesia dengan tidak berusaha mencegah pelarian dana dari Indonesia ke Singapura. Singapura seolah-olah memegang prinsip ‘beggar your neighbour’ terhadap Indonesia. Jatuhnya Indonesia ke dalam krisis 1997 membuat Indonesia secara de facto memiliki daya beli rendah dan punya akses lebh kecil untuk berkiprah di pasar bebas. (wawancara Hardianto dengan B. Herry Priyono, Kompas 3/6/2006: 8)
Kedua, APEC yang diharapkan mampu menjadi tulang punggung perekonomian anggotanya ternyata tidak berdaya merespon kesulitan ekonomi yang mereka hadapi. Maka wajar dipertanyakan apakah sumbangan APEC di saat-saat anggotanya dilanda krisis. Keberlangsungan APEC juga patut diragukan. Kegairahan Indonesia dalam APEC menurun drastis sejak krisis itu. Dalam situasi seperti ini APEC lebih banyak dilihat sebagai ajang hegemoni AS dan Jepang.[4] Dua negara ini membutuhkan pasar yang dapat menyerap produk-produk domestik mereka, namun AS, terutama, enggan membantu “pasarnya” yang terpuruk.
Ketiga, terdapat pergeseran isu APEC dari isu perdagangan bebas menjadi isu politis. Hal ini ditunjukkan oleh lemahnya komitmen AS pada pertemuan puncak APEC Oktober 2001. Presiden George W. Bush lebih banyak membahasa perang melawan terorisme dengan Presiden China, Jiang Zemin dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, presiden Indonesia Megawati dan PM Malaysia Ahmad Badawi. Melihat perkembangan ini diperkirakan bahwa APEC akan sulit memfokuskan dirinya pada tujuannya semula yaitu mengurangi hambatan-hambatan perdagangan dan investasi. (Lincoln 2001: 1) Kegairahan perdagangan di kalangan anggotanya menjadi menurun sehingga APEC tidak lagi bisa disandarkan sebagai pemantik gairah menuju persaingan di pasar bebas.[5]
Melihat kondisi ekonomi
Pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah, jika
“For if the global system starts to break down, if more and more people suffer the consequences of a dearth of social services, if more and more powerlessness characterises the political system, then crises will begin to emerge.” (Said 2000: np)
Kesimpulan
Melihat kondisi perekonomian kita dewasa ini kita tidak akan mampu bersiang dalam pasar bebas melalui kerjasama regional manapun. Dengan semakin dekatnya batas waktu yang ditetapkan bagi
Bergabungnya
Agar tidak menjadi mangsa dalam persaingan bebas, pemerintah tetap harus melindungi produk dalam negerinya. Keharusan ini karena secara nyata kompetensi daya saing produk
Indonesia sebaiknya memiliki rencana pembangunan jangka panjang yang berpihak ke rakyat, melakukan re-positioning dan re-visioning agar Indonesia tidak hanya mampu sebagai obyek globalisasi dan sekedar konsumen pasar bebas seperti saat ini. Diperlukan konsep yang jelas mengenai perekonomian nasional tanpa harus selalu menjadi korban arus globalisasi dan meninggalkan kewajiban global kita sebagai warga negara dunia.
[1] Negara-negara anggota APEC adalah: AS, Australia, Brunei Darusssalam, Canada, Chili, China, Filipina, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Mexico, New Zealand, Papua New Guinea, Peru, Rusia, Singapura, Taiwan, Thailand, Vietnam.
[2] Fokus ini semakin nampak terutama setelah krisis ekonomi 1997 dan meningkat setelah tragedi WTC sehingga sifat APEC menjadi lebih terpolitisasi dan semakin tidak efektif fungsinya sebagai regionalisasi ekonomi untuk menghadapi pasar terbuka.
[3] Contoh kemitraan di bidang ini yang telah berkembang adalah propinsi Jawa Timur dengan negara bagian Australia Barat, propinsi Jawa tengah dengan Negara bagian
[4] Selama terjadinya krisis ekonomi1997. ASEM lebih banyak membantu negara-negara yang terkena krisis. Misalnya negara-negara Eropa secara sukarela menyediakan dana untuk menstabilkan keuangan Negara-negara korban krisis moneter.
[5] Dipicu oleh berbagai kekecewaan, Indonesia menggalang kerjasama yang lebih intensif dengan membentuk forum kerjasama ekonomi regional yang lain, yaitu ASEAN Plus Three (APT) yang beranggotakan negara-negara ASEAN plus China, Jepang dan Korea Selatan tanpa mengikutsertakan AS.[5] APT menjadi solusi alternatif yang diharapkan dapat memberi peluang bagi Indonesia untuk lebih banyak ber maneuver, karena (a) APT merupakan forum yang lebih realistis bagi Indonesia untuk mencapai target pasar bebasnya; (b) APT tidak didominasi oleh negara besar tertentu, sehingga Indonesia berharap dapat memainkan peran regional pasca krisis. Namun masih dipertanyakan pula bagaimanakah nasib
[6] Secara jelas Prof. Sri-Edi Swasono menyatakan bahwa dengan masuknya
0 Responses to APEC 2020 bagi Indonesia: Mitra atau Pemangsa?:
:f :D :) ;;) :x :$ x( :?
:@ :~ :| :)) :( :s :(( :o
Post a Comment