|*|.:.:::::... WELCOME TO MY WORLD "The Art of International Relations" ANYTHING IS POSSIBLE TO HOLD... Thank for Your Visiting ...:::::.:.:.|*|
.

breaking news:

Attention!

Recommended to open this blog by using Mozilla Firefox for the best looking... Check it out... Don't have Mozilla Firefox? Download it now... + Adobe Flash Player 10

Blog Archives

December 3, 2008

Print this ArticlePrint this Article
By: Baiq Wardhani



Pendahuluan

Hampir dua dasawarsa Indonesia bergabung dalam APEC, “super-regionalisme” (Petri 1999: 2) terbesar di Asia-Pasifik. APEC yang diprakarsai oleh Australia pada tahun 1989, merupakan respon atas saling ketergantungan ekonomi di antara negara-negara yang berada di kawasan itu. Anggota APEC saat ini terdiri dari 21 negara yang sangat beragam kemampuan dan potensi ekonominya, mulai dari yang ‘terlemah’ seperti Vietnam sampai yang ‘terkuat’ seperti Jepang dan AS.[1] Keberagaman itu diharapkan menciptakan rasa kebersamaan (sense of community) dalam wadah kerjasama saling mengisi dan terpadu sehingga menciptakan kondisi kondusif bagi peningkatan kemakmuran semua anggotanya sekaligus mempersiapkan mereka menghadapi perdagangan bebas. Bermula dari sekedar forum dialog ekonomi, APEC berkembang lebih besar dan kuat dengan dukungan presiden Bill Clinton pada pertemuan di Seattle tahun 1993 yang menjadikan APEC sebagai pertemuan resmi tahunan.

Selama menjadi anggota APEC, Indonesia secara aktif memanfaatkan organisasi ini sebagai sarana memperkuat perekonomiannya. Bahkan Indonesia pernah menjadi tempat pertemuan KTT APEC pada tahun 1994 yang diselenggarakan di Bogor. KTT Bogor telah melahirkan “Deklarasi Bogor” yang menandai salah satu tahapan penting bagi agenda APEC yaitu dengan ditetapkannya target waktu pembukaan basar bebas dan terbuka, yaitu tahun 2010 bagi negara maju dan 2020 bagi negara berkembang. Setidaknya sampai sebelum krisis ekonomi tahun 1997, beberapa kegiatan APEC menjadi agenda utama pemerintah untuk menggairahkan ekonomi nasional sekaligus sebagai wahana mempersiapkan negara kita menyongsong era perdagangan bebas. Krisis keuangan yang melanda Asia mempengaruhi kerjasama di antara negara-negara yang terkena dampak krisis itu. Namun misi APEC tidak bisa berbalik (irreversible). APEC diharapkan memegang janjinya untuk meningkatkan petumbuhan ekonomi dan memperbaiki standar kehidupan para anggotanya. Inilah yang menjadi tulang punggung utama (backbone) kerjasama APEC. (Ali 2000: 7)

Kondisi perekonomian Indonesia yang memprihatinkan setelah krisis mengundang pertanyaan: bagaimanakah posisi Indonesia dalam APEC pada tahun 2020? Apakah APEC dapat menjadi mitra pengembangan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia, atau sebaliknya, APEC hanya menjadi pemangsa perekonomian nasional? Makalah ini akan membahas tentang berbagai permasalahan yang sedang dan akan dihadapi Indonesia sebagai negara dalam menghadapi liberalisasi perdagangan pada tahun 2020.

Harapan Indonesia dalam APEC

Komitmen multilateralisme Indonesia didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian nasional menjadi lebih mampu bersaing secara internasional. Dengan masuknya Indonesia dalam APEC, Indonesia mau tidak mau harus siap berintegrasi dalam rejim liberalisasi ekonomi yang semakin menjadi model yang dianut oleh banyak negara sebagai model sukses pertumbuhan ekonomi. Berdasar hal tersebut terdapat beberapa asumsi dasar yang mendasari ambisi Indonesia bergabung dalam APEC.

Pertama, regionalisasi ekonomi diharapkan memberi Indonesia ruang gerak yang lebih luas untuk meninggalkan pola ekonomi statis menuju ekonomi dinamis yang berlandaskan liberalisasi. Bahkan pada tingkat tertentu ada harapan Indonesia untuk melakukan “reaching-out” ekonomi karena kegagalan relatif kerjasama ekonomi intra-ASEAN. Sebelum terjadinya krisis ekonomi Asia pada tahun 1997, kondisi perekonomian Indonesia sering digambarkan dengan ungkapan optimisme seperti “booming”, “emerging”, “promising”, “conducive”, dan sejenisnya. Sekalipun tampilan ekonomi Indonesia tidaklah sebaik Singapura, banyak orang menaruh harapan akan semakin meningkatnya perekonomian di masa datang. Hal ini terbukti dengan menigkatknya arus investasi, baik dari sesama anggota APEC maupun non-APEC. Dengan optimisme seperti itu Indonesia yakin akan keuntungan yang akan diperolehnya dari APEC. Seperti diinginkan oleh negara-negara berkembang lainnya, APEC diharapkan tidak sekedar menjadi free trade tetapi juga dapat melaksanakan fair trade.

Pada dasarnya Indonesia jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri menghadapi globalisasi. Mulai tahun 1980-an pemerintah telah mengambil berbagai langkah deregulasi dan debirokratisasi dan terus melakukan perbaikan. Persiapan ini didasarkan pada kondisi nyata bangsa Indonesia sendiri yang memiliki potensi untuk bersaing di pasar bebas, yaitu jumlah sumber daya manusia (SDM) yang besar sekaligus pasar yang besar, ketercukukapn sumber daya alam (SDA) serta upah tenaga kerja yang lebih murah. Persiapan menuju pasar bebas yang telah dilakukan itu antara lain, dalam bidang deregulasi investasi, pemerintah telah memperkenankan kepemilikan modal oleh asing. Kelonggaran ini telah memberikan kemudahan pihak asing untuk lebih banyak berinvestasi di Indonesia.

Walaupun terdapat kekurangan di beberapa hal, kebijakan ini membantu Indonesia untuk mempersiapkan diri lebih baik menghadapi pasar bebas sekaligus untuk meraih keuntungan maksimal. (Wuryandari 1997: 71) Ketersediaaan yang cukup SDM dan SDA dapat merupakan berkah juga beban sekaligus. SDA yang banyak namun tidak berkualitas tidak banyak bermanfaat bagi kemajuan bangsa. Sementara itu SDM yang berkualitas cenderung memilih bekerja di luar negeri karena sarana yang tidak memenuhi di dalam negeri. SDM yang melimpah tanpa didukung ketrampilan SDA hanya akan cenderung dinikmati oleh korporasi asing, dan rakyat lokal hanya sebagai penonton. Belajar dari beberapa kasus, berkah SDM yang melimpah justru melahirkan pemiskinan penduduk lokal dan melahirkan dislokasi sosial akut, seperti yang terjadi di kasus Exon-Mobil Aceh dan Freeport Papua.

Kedua, berkaitan dengan faktor pertama, adalah keinginan Indonesia untuk meraih image internasional yang positif terhadap kemajuan ekonominya. Globalisasi ekonomi memberi peluang Negara untuk memperlihatkan performance ekonominya. Dengan kata lain, kekuatan ekonomi suatu negara diukur dari seberapa banyak negara tersebut memberikan sumbangan terhadap perkembangan ekonomi kawasannya. (Muna 1997: 94) Negara-negara tetangga Indonesia seperti Singapura, Korea Selatan, Hong Kong dan Taiwan mendapat julukan sebagai NIEs (Newly Industrializing Economies). Sementara Malaysia dan Thailand tumbuh hampir menyamai NIEs. Secara umum oleh Bank Dunia pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Pasifik digambarkan sebagai “Keajaiban Asia Timur”. Dipicu oleh kesuksesan itulah pemerintah RI ingin mensejajarkan diri dalam predikat tersebut.

Dalam konteks ini pula Indonesia tidak ingin terjebak dalam keadaan yang diistilahkan sebagai “export pessimism” yang beranggapan bahwa ekspor dari negara berkembang tidak akan mampu menembus pasar negara maju. (Hughes 1992: 12) Pesimisme ekspor itu melanda banyak negara berkembang, dan ketidakpercayaan diri ini menyebabkan arus ekspor negara berkembang tidak banyak ditemui di negara maju. Tentu saja pesimisme ekspor bukanlah satu-satunya penyebab, karena banyak lagi faktor lain yang turut berperan. Namun setidaknya bergabungnya Indonesia dalam APEC adalah upaya menepis anggapan tersebut, apalagi ada kesempatan untuk itu.

Ketiga, Indonesia memiliki kepentingan politis-strategis untuk menjadi sekutu dekat AS. Bagi Indonesia, secara strategis keterlibatan AS dalam APEC merupakan simbol kedekatannya dengan AS. Bagi AS, keterlibatannya dalam APEC merupakan simbol yang memperkuat kesahihan kehadirannya di kawasan Asia-Pasifik. Terdapat kebutuhan timbal balik pada hubungan AS dengan anggota APEC lainnya. Komitmen Indonesia pada APEC nampak lebih kuat setelah Pertemuan Bogor 1994 yang kehadiran Presiden Clinton sangat diharapkan saat itu. APEC bukan saja menjadi ajang liberalisasi ekonomi tetapi juga menjadi tempat berkonsultasi masalah-masalah regional. (Petri 1999: 5)[2]

Kondisi nyata Indonesia

Seberapa siapkah Indonesia menghadapi pasar bebas? Apa sajakah yang telah dilakukan Indonesia dalam menyambutnya? Walaupun ditargetkan Indonesia memasuki pasar bebas itu pada 2020, saat ini saja sudah dirasakan banyaknya “penderitaan” kita. Pasar bebas dalam beberapa hal telah menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional, seperti makin lebarnya jurang si kaya dengan si miskin dan melemahnya kontrol pemerintah dalam perekonomian. Perekonomian nasional lebih banyak dikuasai pihak asing dengan dijualnya aset-aset penting negara yang menguasai hidup orang banyak.

Sejak bergabung dengan APEC, Indonesia berusaha melakukan beberapa persiapan, seperti (a) kemitraan usaha dan modal ventura yang merupakan kerjasama terpadu pengusaha besar dengan pengusaha kecil di tingkat nasional; (b) kemitraan melalui jalur kota kembar (sister city) dengan pihak luar negeri yang dimaksudkan untuk mengambil manfaat saling menguntungkan dari hubungan-hubungan sosial, budaya, perdagangan, pariwisata, dan alih teknologi[3]; (c) meningkatkan daya saing industri tekstil dan perkayuan. (Irewati 1997: 52)

Melakukan kemitraan antara pengusaha besar dengan kecil maupun antara negara maju dengan negara berkembang, bukanlah pekerjaan mudah. Di satu pihak, ada keinginan untuk bersama-sama menggairahkan perekonomian masing-masing pihak, namun di pihak lain ada beberapa hal yang tidak bisa begitu saja diberikan secara mudah/gratis kepada pihak lain. Di pihak yang kuat ada keengganan untuk mentransfer kelebihan kepada pihak yang lemah. Hal ini konsisten dengan sifat dasar ideologi liberalisme. Sebagai contoh, sebagai negara yang secara teknologi masih jauh tertinggal, Indonesia mengalami hambatan dalam bidang transfer teknologi dari negara maju, sehingga tujuan kemitraan dalam sister city tidak bisa terwujud secara nyata. Bidang pertekstilan yang menjadi salah satu andalan ekspor Indonesia, juga mengalami berbagai kendala. Tekstil dan pakaian jadi Indonesia tidak mampu bersaing dengan tekstil dari Cina yang mutunya tinggi dan semakin merambah dunia. (Samhadi, Kompas 20/5/2006: 34)

Dibandingkan dengan China dan India, sektor industri Indonesia masih tertinggal jauh dalam banyak hal. Data dari United Nations Conference on Trade and Development, China merupakan pemasok dunia terbesar ketiga untuk barang dan kesembilan terbesar untuk jasa komersial. Sementara India sudah mampu bersaing di teknonolgi informasi (IT) di tingkat internasional. Pendapatan India dari industri IT mencapai 36 miliar dollar AS pada tahun 2006. Sementara China, India dan sebagian negara APEC naik kelas dalam perindustrian, Indonesia bukan hanya tinggal kelas tetapi justru turun kelas. Nilai ekspor Indonesia di produk teknologi tinggi berada di tingkat terbawah (dengan pendapatan 4.850 juta dollar AS) dibandingkan dengan negara-negara APEC lainnya: China (107.543 juta dollar), Singapura (71.421 juta dollar AS) , Korea (57.161 juta dollar AS), Malaysia (47.042 juta dollar AS), Thailand (18.203 juta dollar AS). (Samhadi, Kompas 20/5/2006) Menurut Emil Salim, hal yang ironis bahwa China dan India yang dak memiliki sumber daya alam topis seperti Indonesia bisa menjadi “raja” ekonomi di Asia. (Salim, Tempo Interaktif, 17/12/2004: np)

Dari waktu ke waktu industri nasional mengalami kemunduran, bahkan dalam beberapa sektor mengalami kemandegan (stagnant) atau deindustrialisasi. (Astono, Kompas 20/5/2006: 35) Bagaimana mungkin Indonesia yang secara potensial memiliki hampir semua komponen produksi untuk mampu mengembangkan industrinya secara maksimal justru mengalami deindustrialisasi? Kondisi ini diperparah sejak krisis moneter 1997. Jangankan bersaing di sektor industri berteknologi tinggi, di industri manufaktur saja (pupuk, keramik, gas, tekstil, kayu dan sektor lain yang hanya mengandalkan sumber daya alam), kita tidak mampu menggarapnya. Indonesia yang dulu menjadi eksporter minyak, akibat kecerobohan manajemen sekarang menjadi importer minyak. Dengan kondisi demikian industri nasional semakin terpukul akibat kerawanan BBM. (Kompas 1/6/2006: 17)

Demikian pula di industri pertanian, Indonesia sebagai negara agraris justru menjadi importer kebutuhan dasar pangan seperti beras, kedelai, susu, garam, buah-buahan dan berbagai produk pertanian lain. (Hidayati, Kompas 20/5/2006: 38) Pemerintah lebih suka mengajak rakyat menjadi boros dengan seringnya membeli kebutuhan dasar (yang sebenarnya bisa kita penuhi sendiri) dari luar negeri untuk menutup kebutuhan dalam negeri. Pemerintah lebih memanjakan para pedagang daripada petani yang dirugikan oleh masuknya barang impor. (Maryoto, Kompas 20/5/2006: 39) Padahal jika pemerintah bijaksana dan taktis, Indonesia mampu mengembangkan teknologi pangan dan pertanian sendiri yang manfaat jangka panjangnya lebih positif tanpa harus menggantungkan diri pada pasokan luar negeri.

Jika ketergantungan ini terus berlangsung maka tidak mengherankan jika bangsa kita akan jadi konsumen saja di pasar bebas dengan membajirnya barang dan jasa asing di dalam negeri. Kita tidak akan mampu menjadi tuan rumah di negeri kita sendiri. Jangankan mampu bersaing di produk teknologi tinggi, untuk memenuhi kebutuhan dasar pun kita tidak mampu. Suatu hal yang ironis bahwa bergabungnya Indonesia dalam APEC sebagai mitra dan sarana mencapai kemakmuran justru menjadi pemangsa bagi kita sendiri. Jika hal ini berlangsung terus sampai 2020, maka Indonesia hanya mampu berhenti sebagai pasar raksasa dengan daya beli lemah karena tidak memiliki daya saing kuat di belantara pasar terbuka.

Ketika menjadi tuan rumah KTT APEC tahun 1994 di Bogor Indonesia mencanangkan tekadnya untuk mewujudkan liberalisasi itu pada tahun 2020, tanpa memperkirakan sejauh manakah kesiapan nasional kita. Indonesia berharap banyak pada liberalisasi ekonomi untuk meningkatkan taraf kesejahteraan nasional. Indonesia terseret dan menyerah pada para pendukung neo-liberal yang mengagung-agungkan pasar bebas, seolah-olah tidak ada alternatif lain, seperti yang pernah disuarakan oleh Margareth Thatcher dan Ronald Reagan (Gomez, ny: 2; Friedman 2005: np) yang kemudian disetujui oleh Mantan Presiden Suharto yang menyatakan bahwa siap atau tidak siap Indonesia hatus memasuki pasar bebas.

Kondisi ekonomi Indonesia yang centang perentang diperburuk oleh beberapa faktor, baik faktor kesalahan manusia maupun faktor yang bersifat natural. Indonesia belum sepenuhnya mampu bangkit dari krisis. Indonesia tidak saja diterpa krisis keuangan dan ekonomi namun juga krisis yang sering disebut-sebut sebagai “krisis multidimensi”, yang telah melemahkan sendi-sendi bernegara. Berbagai persoalan besar di tingkat nasional belum menemukan jalan keluarnya seperti konflik berbasis etnis, terorisme, otonomi daerah yang belum mantap, krisis BBM dan krisis energi, krisis kepemimpinan, belum dipatuhinya peraturan hukum, hutang luar negeri yang semakin membengkak, serta persoalan sejenisnya. Berbagai kesulitan ini ditambah pula dengan bebrapa bencana alam yang secara beruntun menimpa Indonesia, mulai tsunami, tanah longsor, gempa bumi, dan sebagainya. Semua persoalan itu menyerap dana dan enegi pemerintah dan rakyat sehingga Indonesia nampak semakin tidak berdaya menghadapi pasar bebas.

Sementara itu investor asing pun makin undur langkah melihat kondisi Indonesia yang demikian parah. Selain faktor yang telah disebutkan di atas, ketertinggalan Indonesia di bidang investasi dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya disebabkan oleh beberapa faktor penghambat klasik, antara lain tingkat korupsi yang tinggi, infrastruktur yang tidak memadai, birokrasi pemerintah yang berbelit-belit, peraturan perpajakan yang rumit, kualitas SDM yang rendah serta instabilitas kebijakan. (Astono, Kompas 20/5/2006: 35) Hadi Soesastro berargumen bahwa kebijakan Indonesia menghadapi globalisai (termasuk bergabung dalam APEC dan AFTA) lebih didasarkan pada “pertimbangan obyektif apa yang bisa dicapai negara-negara Asia Timur lainnya…dan [keinginan mereka] untuk berlomba meliberalisasi perekonomiannya agar lebih menarik investasi global”. Soesastro menambahkan, pemerintah tidak bijaksana dalam kebijakan ekonominya karena tidak mendorong tumbuhnya persaingan sehat di dalam negeri dengan memberi keistimewaan pada golongan tertentu. (Samhadi, Kompas 20/5/2006: 34) Padahal persaingan sehat di dalam negeri merupakan modal persaingan di pasar bebas.

Selain faktor-faktor internal Indonesia, hambatan menuju pasar bebas juga datang dari faktor eksternal. Dalam pasar bebas tentu masing-masing negara ingin melindungi industrinya agar tidak “dimangsa” oleh negara asing. Dengan berbagai aturan tarif dan non-tarif negara maju berupaya menghalangi masuknya produk dari negara berkembang. Hambatan-hambatan non-tarif seperti anti-dumping, ecolabelling, serta hambatan-hambatan yang dikaitkan dengan isu-isu non-perdagangan seperti kondisi HAM, merupakan senjata ampuh untuk menangkal masuknya produk negara berkembang.

Untuk menguasai pasar dunia, negara-negara di Eropa saja melindungi produksi pertaniannya sedemikian rupa. Amerika Serikat juga melakkan hal yang sama. AS telah mengalokasikan subsidi sampai 80 % untuk sektor pertaniannya. (Pikiran Rakyat 15/5/2006: np) Untuk menaklukkan pasar dunia, negara maju melakukan tiga langkah, yaitu mengambil pasar di negara lain, mengambil energi di negara yang kaya sumber daya alam, dan bagaimana menaruh posisi yang tepat untuk menyebarkan pengaruh politik, artinya menyebatkan hegemoni agar memperoleh akses politik besar di negara yang diincar. Akses politik besar berdampak pada akses untuk menguasai pasar negara berkembang.

Harapan Tinggal Harapan?

Tiga langkah yang disebutkan di atas sudah dilakukan oleh negara maju di Indonesia. Dengan demikian, harapan akan terjadinya kemitraan melalui APEC semakin tidak menentu.

Sejak dilanda krisis keuangan yang diikuti dengan krisis multidimensi, harapan Indonesia pada APEC mulai menurun. Kegairahan yang ditunjukkan pada awal tahun 1990-an ketika APEC baru dibentuk, tidak nampak lagi. Setidaknya terdapat dua hal yang menyebabkan surutnya antusiasme Indonesia pada APEC:

Pertama, selama krisis ekonomi Asia, APEC tidak banyak berperan dalam membantu memperbaiki atau memulihkan kondisi terpuruk Indonesia. Bahkan Singapura yang merupakan anggota APEC, negara tetangga terdekat Indonesia sekaligus terkaya, justru memanfaatkan kesulitan ekonomi Indonesia dengan tidak berusaha mencegah pelarian dana dari Indonesia ke Singapura. Singapura seolah-olah memegang prinsip ‘beggar your neighbour’ terhadap Indonesia. Jatuhnya Indonesia ke dalam krisis 1997 membuat Indonesia secara de facto memiliki daya beli rendah dan punya akses lebh kecil untuk berkiprah di pasar bebas. (wawancara Hardianto dengan B. Herry Priyono, Kompas 3/6/2006: 8)

Kedua, APEC yang diharapkan mampu menjadi tulang punggung perekonomian anggotanya ternyata tidak berdaya merespon kesulitan ekonomi yang mereka hadapi. Maka wajar dipertanyakan apakah sumbangan APEC di saat-saat anggotanya dilanda krisis. Keberlangsungan APEC juga patut diragukan. Kegairahan Indonesia dalam APEC menurun drastis sejak krisis itu. Dalam situasi seperti ini APEC lebih banyak dilihat sebagai ajang hegemoni AS dan Jepang.[4] Dua negara ini membutuhkan pasar yang dapat menyerap produk-produk domestik mereka, namun AS, terutama, enggan membantu “pasarnya” yang terpuruk.

Ketiga, terdapat pergeseran isu APEC dari isu perdagangan bebas menjadi isu politis. Hal ini ditunjukkan oleh lemahnya komitmen AS pada pertemuan puncak APEC Oktober 2001. Presiden George W. Bush lebih banyak membahasa perang melawan terorisme dengan Presiden China, Jiang Zemin dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, presiden Indonesia Megawati dan PM Malaysia Ahmad Badawi. Melihat perkembangan ini diperkirakan bahwa APEC akan sulit memfokuskan dirinya pada tujuannya semula yaitu mengurangi hambatan-hambatan perdagangan dan investasi. (Lincoln 2001: 1) Kegairahan perdagangan di kalangan anggotanya menjadi menurun sehingga APEC tidak lagi bisa disandarkan sebagai pemantik gairah menuju persaingan di pasar bebas.[5]

Melihat kondisi ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk setelah krisis moneter, Indonesia perlu menilik kembali keputusan-keputusan yang pernah diambilnya. Misalnya, dukungan mantap Indonesia dalam berbagai KTT APEC secara over-optimistis Indonesia melangkah menuju liberalisasi ekonomi. Padahal kondisi ekonomi nasional Indonesia sebenarnya secara ideologis tidak sesuai dengan ideologi ekonomi liberal yang merupakan nafas APEC. (Muna 1997: 96) Bagi Indonesia, globalisasi dengan pasar bebasnya melahirkan ketidaksetaraan (inequality) yang makin parah, pelemahan (disempowerement) dan pemiskinan (impoverishment). Swasono menjelaskan bahwa kesalahan yang dibuat Indonesia adalah, pemerintah telah membiarkan “kedaulatan pasar” menggusur “kedaulatan rakyat”. Yang dituju oleh pasal 33 UUD 1945 bukanlah “pembangunan Indonesia” yang bukan semata-mata megejar pertumbuhan ekonomi, tetapi “pembangunan di Indonesia” yang menjunjung tinggi asas kekeluargaan/kekerabatan yang tidak nepotistik. [6]

Pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah, jika Indonesia kalah bersaing di pasar bebas, apa yang akan terjadi? Edward Said mempertanyakan sampai kapan liberalisme itu akan berlangsung? Menurutnya, kegagalan negara untuk mengatasi kekalahannya bersaing dalam sistem pasar bebas akan melahirkan krisis baru:

“For if the global system starts to break down, if more and more people suffer the consequences of a dearth of social services, if more and more powerlessness characterises the political system, then crises will begin to emerge.” (Said 2000: np)

Kesimpulan

Melihat kondisi perekonomian kita dewasa ini kita tidak akan mampu bersiang dalam pasar bebas melalui kerjasama regional manapun. Dengan semakin dekatnya batas waktu yang ditetapkan bagi Indonesia memasuki liberalisasi perdagangan APEC pada tahun 2020, Indonesia siap atau tidak siap harus menghadapi kenyataan untuk menerima pasar bebas. Berdasar kondisi nyata saat ini, bagi Indonesia APEC lebih cenderung dilihat sebagai pemangsa daripada mitra. Dengan segala keterbatasan yang ada, apakah free-trade bisa juga menjadi fair trade bagi Indonesia?

Bergabungnya Indonesia ke dalam APEC lebih didasarkan pada pragmatisme daripada pertimbangan-pertimbangan ideologis. Indonesia cenderung hanya mengikuti perkembangan yang terjadi di sekitarnya daripada mempertimbangkan kekuatan diri. Ekonomi pasar bebas bukan merupakan resep manjur perekonomian Indonesia yang masih belum berkembang seperti Indonesia. Namun dengan diputuskannya Indonesia untuk bergabung dalam APEC, keputusan ini tidak bisa ditarik kembali. Sehingga resiko apa pun yang akan terjadi harus mampu diatasi.

Harapan-harapan Indonesia dalam APEC banyak yang kandas. APEC ternyata tidak memberikan kemitraan produktif seperti yang diharapkan dari sebuah lembaga regional, tidak pula memberikan tanggapan positif terhadap krisis ekonomi anggotanya. Dalam kondisi demikian, Indonesia nampak makin gamang dan mendua menghadapi globalisasi.

Agar tidak menjadi mangsa dalam persaingan bebas, pemerintah tetap harus melindungi produk dalam negerinya. Keharusan ini karena secara nyata kompetensi daya saing produk Indonesia masih sangat lemah. Ada baiknya Indonesia bercermin kepada China dan India yang memiliki keseriusan, keuletan, konsistensi, disiplin, inovatif, atau Inggris dan Amerika yang pada saat mereka sedang menjadi negara berkembang menolak perdagangan bebas.

Indonesia sebaiknya memiliki rencana pembangunan jangka panjang yang berpihak ke rakyat, melakukan re-positioning dan re-visioning agar Indonesia tidak hanya mampu sebagai obyek globalisasi dan sekedar konsumen pasar bebas seperti saat ini. Diperlukan konsep yang jelas mengenai perekonomian nasional tanpa harus selalu menjadi korban arus globalisasi dan meninggalkan kewajiban global kita sebagai warga negara dunia.



[1] Negara-negara anggota APEC adalah: AS, Australia, Brunei Darusssalam, Canada, Chili, China, Filipina, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Mexico, New Zealand, Papua New Guinea, Peru, Rusia, Singapura, Taiwan, Thailand, Vietnam.

[2] Fokus ini semakin nampak terutama setelah krisis ekonomi 1997 dan meningkat setelah tragedi WTC sehingga sifat APEC menjadi lebih terpolitisasi dan semakin tidak efektif fungsinya sebagai regionalisasi ekonomi untuk menghadapi pasar terbuka.

[3] Contoh kemitraan di bidang ini yang telah berkembang adalah propinsi Jawa Timur dengan negara bagian Australia Barat, propinsi Jawa tengah dengan Negara bagian Queensland, Australia; kota Medan dengan Penang (Malaysia), kota Yogya dengan Osaka (Jepang).

[4] Selama terjadinya krisis ekonomi1997. ASEM lebih banyak membantu negara-negara yang terkena krisis. Misalnya negara-negara Eropa secara sukarela menyediakan dana untuk menstabilkan keuangan Negara-negara korban krisis moneter.

[5] Dipicu oleh berbagai kekecewaan, Indonesia menggalang kerjasama yang lebih intensif dengan membentuk forum kerjasama ekonomi regional yang lain, yaitu ASEAN Plus Three (APT) yang beranggotakan negara-negara ASEAN plus China, Jepang dan Korea Selatan tanpa mengikutsertakan AS.[5] APT menjadi solusi alternatif yang diharapkan dapat memberi peluang bagi Indonesia untuk lebih banyak ber maneuver, karena (a) APT merupakan forum yang lebih realistis bagi Indonesia untuk mencapai target pasar bebasnya; (b) APT tidak didominasi oleh negara besar tertentu, sehingga Indonesia berharap dapat memainkan peran regional pasca krisis. Namun masih dipertanyakan pula bagaimanakah nasib Indonesia di regionalisme yang lebih kecil ini.

[6] Secara jelas Prof. Sri-Edi Swasono menyatakan bahwa dengan masuknya Indonesia ke pasar bebas yanpa persiapan yang matang, sesungguhnya Indonesia telah menyalahi ideologinya sendiri. Telah terjadi pelanggaran fundamental terhadap pasal 33 UUD 1945 dengan membela para kapitalis dan meninggalkan rakyat. Ekonomi nasional Indonesia yang berdasar pada pasal 33 bersifat persetaraan (participatory) dan membebaskan (emancipatory). Ayat-ayat dalam pasal 33 banyak bertentangan dengan ideologi sistem liberal yang eksploitatif dan menciptakan “the winner-take-all society”, yang menindas rakyat. Baca, Sri-Edi Swasono, “Sistem Ekonomi Indonesia”, dalam Artikel, tahun 1, no. 2, April 2002. Baca pula wawancara B.J.S. Hardianto dengan Dimyati Hartono, “Upaya Mengembalikan Semangat Kebangsaan”, Kompas, 11 Maret 2006.

Print this ArticlePrint this Article

By:
Baiq Wardhani

Tanggal 19-30 Juni tengah berlangsung Sidang Dewan Hak Azasi Manusia (HAM) di Geneva, ibukota Swiss. Dewan HAM ini merupakan sebuah lembaga baru di bawah naungan PBB, yang untuk tahun ini Indonesia merupakan salah satu anggota terpilih oleh Majelis Umum PBB. Dewan yang beranggotakan 47 negara tersebut menggantikan Komisi HAM PBB yang beranggotakan 53 negara PBB, yang terpaksa dibubarkan karena politisasi lembaga tersebut oleh para anggotanya.

Dalam sidang peresmian Dewan HAM, Sekjen PBB Kofi Annan menyatakan bahwa Dewan tersebut sedang mendapat perhatian dari seluruh dunia, terutama dari kalangan yang pernah “dirampas, diancam atau dilanggar HAM-nya”. Pernyataan Sekjen PBB tersebut mengingatkan pentingnya negara-negara anggota Dewan baru tersebut untuk lebih memfokuskan agendanya pada perjuangan global dalam bidang HAM daripada mengedepankan agenda nasional masing-masing negara yang sering kali berbenturan dengan norma HAM universal, seperti yang pernah terjadi di masa lalu.

Sehubungan dengan keanggotaan Indonesia dalam Dewan HAM internasional tersebut, tulisan ini ingin melihat bagaimanakah rapor HAM kita, dan bagaimana posisi Indonesia dalam memperjuangkan agenda global HAM.

HAM Indonesia

Sangat menarik bila diamati masuknya Indonesia dalam Dewan HAM PBB. Inilah pertama kali Indonesia diberi peranan berarti dalam forum internasional pasca krisis 1998. Apakah kepercayaan PBB itu merupakan pertanda meningkatnya kepercayaan dunia internasional pada Indonesia? Apakah terdapat agenda tersembunyi di balik terpilihnya Indonesia? Jawabanya bisa beragam. Yang pasti, kesempatan ini merupakan tantangan sekaligus harapan bagi Indonesia untuk lebih mawas diri dalam meninjau kembali masalah HAM-nya.

Kondisi HAM di Indonesia, terutama kekerasan sistematis rejim atas rakyat, merupakan masalah yang sering disoroti berbagai kelompok pengamat HAM baik di dalam maupun luar negeri. Menurut pengamatan Amnesty Internasional, misalnya, Indonesia dikategorikan sebagai negara yang mempunyai catatan HAM sangat memprihatinkan. Pelanggaran HAM dan ketidakadilan terjadi di berbagai penjuru tanah air, terutama daerah-daerah konflik. Dengan alat pemaksa yang dimilikinya, rejim Orde Baru melakukan tindakan penyimpangan HAM dengan dalih “menjaga stabiliitas”, yang menyebabkan lahirnya “barisan sakit hati” di beberapa kelompok orang di wilayah-wilayah konflik seperti Aceh dan Papua. Contohnya, selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, tercatat berbagai kekerasan rejim terhadap rakyat seperti penyiksaan fisik maupun psikis, penculikan, penyidangan tanpa proses hukum yang benar, dsb. Belum lagi dampak yang diakibatkan oleh konflik seperti kelaparan, tidak adanya rasa aman, tidak terurusnya pendidikan, minimnya sarana kesehatan dan lain-lain, yang semua itu menyumbang pada minusnya nilai rapor HAM kita.

Dilema Diplomasi

Bagi Indonesia tentu saja keanggotaannya dalam Dewan ini merupakan suatu kehormatan. Betapa tidak, dengan rekor HAM yang memprihatinkan, Indoneaia berhasil menduduki posisi terhormat itu. Hal ini bisa dilihat sebagai kemenangan diplomasi Indonesia. Namun sebagai konsekuensinya, tugas yang harus ditanggung Indonesia tentu luar biasa berat.

Secara simbolis posisi Indoensia sangat krusial. Bagi Indonesia, keanggotaan tersebut merupakan kesempatan untuk menegakkan rejim HAM internasional terhadap 191 anggota PBB sekaligus memperbaiki status HAM domestiknya. Indonesia sudah selayaknya memanfaatkan momentum kemenangan diplomatik ini dengan melakukan berbagai pembenahan di berbagai bidang yang bersangkut paut dengan HAM.

Namun sejujurnya harus diakui pula bahwa posisi Indonesia sangatlah dilematis dalam keanggotaan Dewan HAM PBB tersebut. Setidaknya Indonesia menghadapi dua masalah besar. Pertama, di satu pihak, secara idealis Indonesia harus mampu mewujudkan cita-cita luhur Dewan tersebut, untuk tidak hanya sekedar menjadi “international human rights watchdog” yang bergengsi, tetapi juga harus mampu merumuskan aturan main yang harus ditaati oleh semua anggota PBB. Di pihak lain, Indonesia sendiri masih menghadapi berbagai persoalan HAM di dalam negeri yang belum teratasi, di antaranya tingkat kelaparan, buta huruf, kesehatan, pendidikan dan peradilan yang buruk, serta kekerasan sistematis dalam bentuk yang lain yang dilakukan oleh Negara.

Jika di masa lalu Indonesia sering berdalih demi menjaga stabilitas, melindungi kepentingan nasional dan tidak mencampuri urursan dalam negeri negara lain untuk setiap kritik domestik maupun asing tentang pelanggran HAM yang dilakukan rejim, maka kini akibat demokratisasi internasional, pernyataan tersebut tidak lagi laku dijual karena masalah HAM bukanlah monopoli negara tertentu sekalipun pelanggaran tersebut terjadi dalam wilayah kedaulatan suatu negara.

Kedua, apakah Indonesia memiliki kapabilitas yang cukup untuk mampu secara netral dan tegas mengatasi polarisasi antara blok Utara (Negara-negara Barat) dengan blok Selatan (Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin) yang seringkali berbeda pendapat tentang isu-isu HAM. Ketergantungan Indonesia secara ekonomi pada kelompok Barat tentu menjadi pertimbangan yang dilematis bagi Indonesia untuk bisa mengambil peran dominan dalam Dewan HAM PBB tersebut.

Dihadapkan pada kondisi Indonesia yang demikian, sebenarnya posisi Indonesia menjadi problematik. Secara konsekuen Indonesia haruslah memenuhi sumpahnya dalam keanggotaan Dewan tersebut untuk “menghormati HAM di dalam negeri dan menjunjungnya di luar negeri”. Jangan sampai sumpah tersebut hanya sebatas retorika karena hal tersebut bisa menjadi blunder bagi kita sendiri.

Print this ArticlePrint this Article

By: Baiq Wardhani

Hubungan dengan tetangga dekat bisa jadi lebih rawan konflik daripada hubungan dengan negara yang jauh. Hal ini tercermin dalam masalah hubungan Indonesia dengan Singapura akibat konflik pasir yang baru-baru ini terjadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dan Singapura adalah dua negara tetangga paling dekat dan saling membutuhkan. Kedua negara memiliki hubungan harmonis, terutama pada era Suharto. Hal ini tidak lepas dari peran mantan presiden Suharto yang di hadapan PM Lee memiliki kharisma, kualitas kepribadian yang diakui memegang peranan penting sebagai kekuatan tak nampak dalam hubungan diplomatik. Seiring dengan undurnya kedua mantan kepala pemerintahan senior itu diiringi dengan berbagai perkembangan yang mempengaruhi kedua negara, hubungan harmonis itu menurun kualitasnya. Konflik RI-Singapura, sekalipun masih dapat dinilai “cukup baik”, mengalami beberapa gangguan yang belum teratasi.

Konflik antara Indonesia dengan Singapura, terutama setelah reformasi, bukanlah yang pertama kali terjadi. Menoleh ke belakang, beberapa gangguan dalam hubungan diplomatik kedua negara ini dipicu oleh berbagai persoalan, seperti masalah “perang urat syaraf” antara mantan Presiden Habibie dengan mantan PM Lee Kuan Yew dan dilanjutkan dengan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, menyusul soal tuntutan RI soal perjanjian ekstradisi untuk pengembalian para penjahat ekonomi, masalah kabut asap dan terakhir sengketa pasir.

Kasus konflik pasir ini ironis, bahwa sebuah negara sangat kecil dapat mengancam keselamatan wilayah sebuah negara besar “hanya” dengan cara membeli seonggok demi seonggok sarana pembatas wilayah. Singapura menolak larangan tersebut karena, seperti yang dikatakan Menlu George Yeo, Indonesia tidak memiliki landasan untuk melarang ekspor pasir.

Merugikan Indonesia

Sengketa pasir berawal dari dilarangnya ekspor pasir Indonesia ke semua negara, termasuk ke Singapura. Larangan ekspor pasir yang dikeluarkan pemerintah ini sangat tepat, mengingat kerugian yang ditimbulkannya sangat mengancam keselamatan lingkungan dan eksistensi negara kita karena berubahnya peta wilayah RI. Pengerukan pasir yang terus menerus dapat mengakibatkan berbagai kerawanan lingkungan yang mengancam keselamatan penduduk Indonesia, terutama di daerah pesisir pantai.

Selama ini Singapura adalah salah satu pengimpor pasir terbesar dari Indonesia. Ini dilakukan sejalan dengan lajunya tingkat industri konstruksinya sehubungan dengan proyek reklamasi pantainya. Seperti yang dinyatakan oleh Inspektur Jendral TNI AL, Mayjend Mar Nono Sampono, akibat reklamasi besar-besaran tersebut, perbatasan kedua negara mengalami perubahan yang dampaknya sangat merugikan Indonesia. Reklamasi pantai-pantai di Singapura menyebabkan daratan negara kota itu bertambah 12 km ke arah perairan Indonesia, sedangkan wilayah perairan Indonesia berkurang 6 km. Jika tidak segera dihentikan, maka luas wilayah Indonesia akan terus berkurang dan Singapura akan memiliki daratan lebih luas daripada yang dimilikinya saat ini.

Tergerusnya wilayah perairan Indonesia diperparah dengan menyempitnya wilayah daratan Indonesia. Contohnya, beberapa pulau kecil di kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura tenggelam akibat eksplorasi pasir untuk memenuhi kebutuhan Singapura. Tindakan Singapura benar-benar menunjukkan sindrom negara kecil yang berbatasan dengan negara superluas seperti Indonesia.

Penjualan pasir ini seharusnya sudah harus diantisipasi jauh-jauh hari dengan dikeluarkannya berbagai peraturan yang mencegah habisnya pasir Indonesia. Namun sayangnya upaya-upaya ke arah ini belum dilakukan karena bisnis pasir, baik legal maupun ilegal, melibatkan beberapa pihak yang mendapatkan keuntungan finansial. Ketidakjelasan perbatasan di pulau-pulau terluar Indonesia menyebabkan pihak-pihak tersebut secara sadar maupun tidak, menjual negara kepada pihak asing. Maka RUU Perbatasan Negara menjadi kebutuhan yang urgensinya sangat tinggi untuk segera disahkan, bukan saja untuk mengatasi masalah perbatasan dengan Singapura tetapi juga dengan negara-negara lain yang memiliki masalah perbatasan dengan Indonesia. Keputusan Indonesia menghentikan pejualan pasir Singapura ini merupakan salah satu cara untuk menekan Singapura agar negara itu bersedia menandatangani perjanjian perbatasan yang selama ini diabaikan oleh Singapura.

Tekanan lain

Faktor lain, seperti yang dikemukakan oleh Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Deplu, Primo Alui Joelianto, yang mendorong Indonesia menghentkan ekspor pasir ke Singapura adalah masalah ekstradisi. Telah diketahui bahwa selama ini Singapura selalu menolak menandatangani perjanjian ekstradisi yang sangat diperlukan oleh Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi. Singapura merupakan tempat pelarian para penjahat ekonomi Indonesia karena berbagai kemudahan dan keamanan yang ditawarkan negara tersebut atas aset pihak asing.

Menghadapi tuntutan ini, Singapura menyatakan adalah tanggungjawab Indonesia untuk menyelesaiakan sendiri urusannnya dengan para koruptor tersebut. Indonesia menuduh Singapura melindungi mereka karena Singapura diuntungkan dengan simpanan uang para koruptor di berbagai lembaga keuangan Singapura. Negara ini memetik keuntungan yang besar dengan masuknya “uang haram” yang dilarikan oleh para koruptor itu. Memang benar bahwa korupsi adalah masalah internal Indonesia. Namun tanpa bantuan Singapura, sistem hukum Indonesia tidak mampu menjangkau para penjahat tersebut karena mereka berada di luar batas yurisdksi hukum negara kita. Ketidaksediaan Singapura untuk bekerjasama dengan Indonesia merupakan ganjalan yang berpotensi menganggu dalam hubungan diplomatik kedua negara.

Jika hal ini tidak dicarikan jalan keluar, tidak menutup kemungkinan dapat menjurus ke krisis hubungan bertetangga. Mampukan ASEAN menyelesaiakn masalah ini? kemampuan organisasi regional ini diragukan karena terbatasnya mekanisme penyelesaian konflik yang dimilikinya.

By: Baiq Wardhani

Akhirnya kekhawatiran akan berlanjutnya kerusuhan di Timor Leste terjadi juga. Sejak negara baru itu dilanda huru-hara pertengahan Maret lalu, rakyat Timor Leste belum merasa betul-betul tentram. Kekacauan secara sporadis masih berlangsung, sementara pemerintahnya belum mampu menguasai keamanan dalam negeri sepenuhnya. Kepusingan pemerintah akhirnya berbuntut dengan keputusan untuk mengundang tentara asing untuk menguasai gejolak internal (Kompas 26/5/2006).

Belum siap

Terjadinya kerusuhan demi kerusuhan di Timor Leste akhir-akhir ini tentu tidak bisa dilepaskan dari seberapa jauh kesiapan negara tersebut memasuki kemerdekaannya. Terdapat beberapa faktor berkaitan dengan belum siapnya Timor Timur menjadi negara merdeka.

Pertama, Timor Leste adalah negara baru yang sebenarnya secara infrasturktur belum siap untuk mandiri. Kemerdekaan Timor Leste merupakan akibat keputusan mendadak mantan Presiden Habibie pada tahun 1999. Keputusan Habibie itu lebih didorong oleh kebutuhan domestik Indonesia saat itu yang sedang dilanda berbagai macam krisis dalam negeri dan memburuknya kondisi ekonomi nasional. Keputusan diselenggarakannya referendum oleh pemerintah saat itu ditanggapi dengan berbagai reaksi pro dan kontra dari dalam dan luar negeri. Menariknya, Uskup Belo dan Xanana Gusmao justru terkejut dengan keputusan itu. Mereka melihat Timor Leste belum siap diberi kemerdekaan, namun lebih siap dengan opsi otonomi seluas-luasnya.

Kedua, justru karena kemerdekaan yang mendadak, Timor Leste masih fragile. Kemerdeaan itu seolah-oleh secara instan menghilangkan ‘musuh bersama’ (dalam hal ini Indonesia). Kemerdekaan instan bagaimana pun juga itu menimbulkan ‘panik’ karena sense of statehood mereka belum tertata sedemikian rupa, yang masalah ini tidak dianggap penting ketika masih menjadi bagian Indonesia. Seperti layaknya negara baru lainnya, wajar jika terjadi masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, namun masalah-masalah ini bisa menjadi isu pelik ketika negara itu belum siap untuk merdeka.

Ketiga, secara ekonomi, sebagai negara baru Timor Leste pun belum siap mandiri. Negara baru ini tidak memiliki kekayaan alam yang cukup untuk mendukung perekonomian nasionalnya. Minyak di Celah Timor, yang sampai saat ini masih menjadi sngketa dengan Australia, tidak bisa menjanjikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sementara itu bantuan finansial dari negara-negara ‘sponsor kemerdekaanya’ pun tidak mengalir sederas seperti yang pernah mereka harapkan ketika negara-negara sponsor itu memberikan iming-iming. Lebih parahnya, para tentara yang menjadi garda pertahanan utama negara pun memberontak meminta kenaikan gaji, namun pemerintah menenggapinya dengan pemecatan.

Intervensi militer asing

Skenario intervensi internasional akhirnya berlaku di Timor Leste karena ketidakmampuan aparat keamanan dalam negeri mengatasi sendiri masalah internalnya. Jika suatu negara gagal melindungi keamanan dalam negerinya sendiri, negara tersebut dapat dimasukkan dalam kategori ‘negara gagal’. Terdapat kekhawatiran bahwa Timor Leste akan menambah jumlah deretan‘negera gagal’ di Asia-Pasifik setelah Solomon dan Fiji yang berkali-kali dirundung perang saudara dan undangan pada tentara asing.

Undangan pemerintah Timor Leste kepada tentara asing dari Australia, Selandia Baru, Portugal dan Malaysia untuk mengamankan kondisi dalam negerinya sendiri adalah suatu paradoks. Intervensi militer seharusnya merupakan tindakan terakhir (last resort) untuk mengatasi kondisi darurat dalam negeri setalah berbagai upaya internal dilakukan. Ini dimaksudkan untuk menghormati kedaulatan absolut negara tersebut. Negara seharusnya berupaya mendayagunakan segenap kekuatan dalam negeri untuk mengatasi masalah dalam negerinya sendiri. Timor Leste tidak melakukan hal ini. Undangan intervensi ini bisa menjadi gejala yang berlanjut: manakala terjadi kerusuhan lagi, akan terjadi intervensi asing lagi. Akibatnya, negara tersebut akan menjadi client tentara asing.

Mengapa tentara empat negara itu yang diundang dan bukan Indonesia, padahal jelas-jelas Indonesia terkena langsung dampak perang saudara tersebut? Pengalaman pra-kemerdekaan dengan Indonesia nampaknya masih meninggalkan trauma dan sisa-sisa dendam masa lalu. Lebih baik mengundang Portugal yang secara geografis terletak beribu-ribu kilometer dari Timor Leste daripada mengundang tetangga yang ‘mantan musuh’.

Kita berharap bahwa Timor Leste segera kembali normal sehingga dampak konflik itu tidak merembet ke negara kita. Sikap pemerintah Indonesia yang menutup perbatasan adalah tepat. Secara teoritis perembetan konflik sangat mudah terjadi pada dua negara yang berbatasan darat secara langsung. Kerusuhan di Timor Leste sangat potensial mengganggu stabilitas nasional Indonesia. Ketika pertama kali konflik di Timor Leste itu meletus, kita sudah kebanjiran pengungsi. Kondisi ini pasti berlanjut jika pemerintah tidak mengambil tindakan pencegahan. Datangnya pengungsi ke wilayah territorial Indonesia akan menimbulkan permasalahan sosial,politik dan ekonomi baru bagi kita.

== == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == ==
Online Radio
IP
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Teşekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 Baiq Wardhani on http://baiq-wardhani.blogspot.com]*|...:::|*|
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Copyright © 2008 Diplomacy and Foreign . All rights reserved.

The Modification of This Blog was Designed by: [ M. Edy Sentosa Jk. ] On the other Web of [ The Global Generations ] | [N*K*A]