Print this Article
By: Baiq Wardhani
This article had been published in the on Wednesday, 24 September 2008
AKHIRNYA, Indonesia berhasil memainkan peran dengan baik dalam kapasitasnya sebagai mediator (penengah) konflik yang sudah berlangsung lebih dari seratus tahun. Konflik itu terjadi antara pemerintah Thailand dan pemberontak muslim di provinsi-provinsi selatan Thailand yang tersebar di wilayah Pattani, Yala, dan Narathiwat.
Sukses diplomasi itu dicapai Minggu, 21 September 2008, di Istana Bogor. Ketika itu, pemerintah Thailand berunding dengan pemberontak separatis dan menyatakan komitmen mereka untuk mengakhiri konflik yang mengorbankan ribuan nyawa dan harta benda yang tak terhitung.
Gerakan menuntut pemisahan diri di Thailand Selatan adalah salah satu kenyataan yang meresahkan. Tidak saja pemerintah Thailand, namun juga negara-negara tetangga di sekitarnya, termasuk Indonesia.
Penduduk Thailand Selatan yang berjumlah sekitar 4-5 persen berbeda dengan mayoritas penduduk Thailand dalam hal agama dan ras. Minoritas muslim keturunan Melayu di wilayah Thailand Selatan menuntut kemerdekaan dari Monarki Thailand sejak awal 1900. Tuntutan merdeka muncul karena politik penguasaan penuh dan sentralisasi pemerintah Thai. Salah satu dampak politik itu adalah kurangnya partisipasi politik rakyat Thailand Selatan.
Masalah lain yang jadi keprihatinan pemerintah Thailand adalah kenyataan bahwa rakyat Thailand Selatan tersebut ingin bergabung dengan saudara sebangsa mereka di Malaysia. Secara sosiologis-kultural, masyarakat muslim Thai memiliki keterikatan yang kuat dengan Kedah dan Kelantan (wilayah Malaysia). Terdapat sedikitnya dua hal yang mendukung keberhasilan diplomasi tersebut.
Inisiatif Proaktif
Pertama, Indonesia menangkap peluang positif untuk memainkan peranan regionalnya di Asia Tenggara dengan memanfaatkan modalnya sebagai salah satu negara berpenduduk muslim terbesar. Inisiatif mediasi peran Indonesia memang sudah lama digagas, terutama oleh Wapres Jusuf Kalla.
Sebagai salah satu tetangga dekat dan sesama anggota ASEAN, Indonesia sangat berkepentingan atas situasi damai di kawasan Asia Tenggara. Indonesia masih berpegang pada prinsip bahwa keamanan nasional sangat dipengaruhi oleh keamanan regional. Karena itu, Indonesia tidak segan-segan secara proaktif melakukan inisiasi peran-peran konstruktif.
Sebelum melakukan peran tersebut Kantor Kedeputian Wakil Presiden RI mencari masukan dari banyak pihak di Indonesia seperti dari ilmuwan, agamawan, NGO, dan sebagainya agar Indonesia dapat berperan secara maksimal.
Peran ulama dalam hal ini sangat penting dan banyak menentukan. Sebelum tercapainya kesepakatan penting pada hari Minggu tersebut, ulama dari kedua negara secara terus-menerus mengadakan pertemuan dan pembahasan. Peran ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah yang mendukung upaya perdamaian menjadi faktor pendukung sukses diplomasi Indonesia.
Hal tersebut bertepatan dengan pelaksanaan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) -Konferensi Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia- yang ketiga (29 Juli-1 Agustus 2008). Tema yang diangkat ialah resolusi konflik sebagai agenda utama.
Upaya diplomasi Indonesia yang melibatkan berbagai unsur masyarakat merupakan salah satu ciri diplomasi baru Indonesia. Penulis yang kebetulan pada 2007 menjadi salah satu pembicara dalam kegiatan tersebut mengamati bahwa upaya Wapres itu merupakan salah satu mekanisme positif untuk mencari masukan dari berbagai pihak yang dianggap memahami konflik di Thailand Selatan.
Keberhasilan peran madiasi Indonesia, selain karena dukungan berbagai pihak di dalam negeri, juga tidak terlepas dari pengalaman Indonesia yang pernah menjadi mediator yang berhasil dalam konflik pemerintah Filipina dengan bangsa Moro yang tergabung dalam gerakan pemberontak MNLF.
Mengapa Memilih Indonesia?
Kedua, netralitas posisi sebuah negara merupakan faktor penting dalam setiap upaya penyelesaian konflik. Salah satu hal penting yang mendukung keberhasilan peran mediasi Indonesia adalah Indonesia tidak terlibat dalam konflik tersebut. Berbeda dengan Malaysia, Indonesia dianggap tidak memiliki sejumlah agenda politik yang langsung berkaitan dengan konflik di Thailand Selatan.
Malaysia sudah lama ingin jadi juru damai dalam konflik tersebut, namun belum berhasil meyakinkan pemerintah Thailand. Dampaknya, bebagai perundingan antara pemerintah Thailand dan Malaysia belum mencapai titik temu.
Niat Malaysia tersebut berkali-kali disampaikan pemerintahnya. Yang terakhir, PM Ahmad Badawi menyatakan keinginannya bertemu dengan PM Thailand Samak Sundaravej pada Februari 2008. Bahkan, sejak 2005 secara terbuka Malaysia menyatakan keinginannya untuk berperan. Namun, sampai saat ini, hal tersebut belum terwujud karena Thailand khawatir gagasan itu akan sangat berbahaya jika terjadi sesuatu di luar kendali.
Pemerintah Malaysia secara langsung berkepentingan atas konflik di Thailand Selatan karena keinginan rakyat di daerah tersebut bergabung dengan Kedah dan Kelantan sebagai negara bagian Malaysia yang paling dekat dengan Thailand Selatan.
Malaysia juga merupakan tempat mengungsi dan mencari suaka penduduk Thailand Selatan. Kepentingan lain yang ditunjukkan Malaysia ialah keinginannya untuk membangun wilayah-wilayah Thailand Selatan. Upaya ini mengkhawatirkan pemerintah Thai karena wilayah tersebut dapat menjadi arc of stability bagi Thailand sendiri. Namun, bagaimana pun, juga penyelesaian komprehensif masalah Thailand Selatan tak dapat berhasil dengan baik tanpa melibatkan Malaysia.
Tercapainya kesepakatan tersebut secara langsung mengurangi beban pemerintah Thai yang saat ini sedang dilanda krisis politik dalam negeri. Bagi Indonesia, hal tersebut merupakan kemenangan diplomasi yang meningkatkan citra baik negara ini di forum regional.
0 Responses to Thailand Selatan, Sukses Diplomasi Indonesia:
:f :D :) ;;) :x :$ x( :?
:@ :~ :| :)) :( :s :(( :o
Post a Comment